Minggu, 08 April 2012

Kisah Pluralisme dalam Rumah di Seribu Ombak

Filled under:

Tidak banyak novel-novel di Indonesia yang mengangkat isu-isu hangat yang beredar di masyarakat Indonesia saat ini. Seringkali tema percintaan, persahabatan, dan fiksi khas sebuah novel yang dijadikan acuan bagi penulis, sehingga menimbulkan kesan menarik. Rumah di Seribu Ombak agak sedikit berbeda. Tema yang diangkat pada novel ini menitikberatkan pada esensi pluralisme yang terkadang sering dianggap enteng di negeri ini.

Novel ini ditulis oleh seorang produser film dan jurnalis, Erwin Arnada, yang lama berpengalaman di bidang media dan jurnalistik. Erwin pernah dijatuhi hukuman atas peredaran majalah Playboy Indonesia yang ditentang oleh banyak ormas. Kerasnya kehidupan di dalam bui selama 8,5 bulan tidak membuatnya berhenti berkarya. Novel ini adalah salah satu buku yang ditulisnya selama menjalani masa tahanan. Di bidang perfilman, Erwin pernah memproduseri beberapa film seperti  Asmara Dua Diana (2009), Jelangkung 3 (2007), Jakarta Undercover (2006), Cinta Silver (2005), Catatan Akhir Sekolah (2005), 30 Hari Mencari Cinta (2004), dan Tusuk Jelangkung (2003

Dalam novel Rumah di Seribu Ombak ini kita akan dikenalkan pada tokoh utama Samihi seorang anak muslim yang menjalin persahabatan dengan seorang anak berkeyakinan Hindu, Wayan Manik (Yanik). Samihi adalah seorang anak sekolahan yang awalnya penakut dan taat pada orang tuanya. Yanik adalah seorang anak pemberani yang sedikit lebih tua, penyuka lumba-lumba, dan suka berkelana di lautan. Mereka berdua adalah beberapa anak yang tumbuh di sebuah desa Kalidukuh di daerah Singaraja, Bali. Keduanya mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda. Sebagai catatan, daerah Singaraja di Bali adalah sebuah daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tidak seperti daerah lain di Bali yang mayoritas berkeyakinan Hindu.

Samihi hidup dengan ayah dan adiknya (Syamimi), ibu dan kakaknya telah meninggal lebih dahulu. Lain halnya dengan Yanik. Yanik adalah seorang anak tunggal yang hidup dengan ibunya yang sakit-sakitan. Ayahnya sudah cerai dan memperistri seseorang yang bertempat tinggal di Kuta, Bali. Yanik hanya sesekali bertemu ayahnya yang bekerja di sebuah restoran di Legian, sehingga Yanik terpaksa harus menjadi tulang punggung bagi ibunya.

Banyak konflik batin yang dialami oleh tokoh Samihi sebagai tokoh utama. Kecintaan Yanik pada kegiatan snorkeling dan surfing di lautan ditularkan kepada Samihi, sehingga Samihi tidak takut lagi pada air dan nasehat orang tuanya. Namun, kisah kedekatan kedua anak itu lambat laun pupus karena Yanik tersangkut konflik pelecehan seksual oleh seorang warga Australia, Andrew. Aib yang diderita Yanik semakin menjadi-jadi, apalagi ia telah kehilangan ayahnya yang menjadi salah satu korban Bom Bali.

Hingga suatu saat Yanik pun meninggalkan kampung Kalidukuh. Samihi beserta adiknya Syamimi merasa kehilangan. Ketekunan Samihi dalam belajar akhirnya bisa membuatnya menjuarai lomba qiraah dan lomba surfing. Samihi merasa semua keberhasilan yang ia raih tidak lepas dari peran Yanik sebagai teman sejatinya. Samihi akhirnya sangat menggemari kegiatan berselancar. Kegigihan dan ketertarikannya kepada laut semakin diyakinkan oleh dukungan ayahnya dan orang-orang disekitarnya.

Sosok Ngurah Panji, seorang penjaga keamanan desa yang banyak bergaul, sering menjadi penengah di balik setiap konflik antara Samihi dengan Yanik, juga Samihi dengan keinginannya. Pertama, ketika Samihi dikeroyok oleh anak desa sebelah yang ingin mencuri sepedanya, Ngurah Panji lah yang melerai. Kedua, ketika Samihi ingin menyelamatkan Yanik dari cengkeraman Andrew, Ngurah Panji lah yang membantu menyelesaikan hingga ke pengurus desa. Ketiga, ketika Samihi ingin bertemu juragan surfing dari Kuta, Bli Komang, maka Ngurah Panji juga yang akhirnya menghubungkan mereka berdua.

Hal unik dari cerita di novel ini yaitu ketika Yanik yang non-muslim bersedia membantu sahabatnya untuk memberi tahu cara mengaji agar bisa mengeluarkan suara yang bagus.
 Yanik pun mengenalkan Samihi pada seorang ahli mekidung (geguritan) Bali. Selain persahabatan, novel ini juga dibubuhi dengan sedikit kisah percintaan antara Yanik dan Syamimi (adik Samihi). Di akhir cerita pembaca akan dibawa ke suasana duka dan kerelaan yang mendalam tentang arti sebuah toleransi, persahabatan, dan percintaan yang saling berkaitan. Semangat dan kegigihan dalam mengalahkan rasa takut yang dirasakan Samihi patut dicontoh, sehingga ia bisa menjadi seorang surfer hebat dan mengantarkannya ke Melbourne, Australia.

Kekurangan novel ini adalah banyak kesalahan dalam penulisan atau dapat dikatakan proses editing nya kurang sempurna. Alur cerita yang tidak mudah ditebak dan pengangkatan tema yang khas menjadi keunggulan/daya tarik novel ini. Banyak pesan yang bisa diambil dalam novel ini. Istilah-istilah dalam kultur Bali juga banyak disebutkan pada novel ini, seperti bahasa, adat istiadat, dan budaya yang masih terjaga dengan baik di Bali. Selain itu, tradisi keagamaan yang sering diadakan oleh agama Islam dan Hindu juga disampaikan secara seimbang.

Kisah dalam novel ini berasal dari kisah nyata yang sebelumnya memang ditelusuri sendiri oleh penulisnya. Rumah di Seribu Ombak ini juga diadaptasi menjadi sebuah film dengan judul yang sama dan disutradarai oleh penulis novel ini sekaligus. Saat ini telah selesai syuting dan tengah memasuki masa editing. Kabarnya bulan Agustus 2012 nanti film ini mulai ditayangkan di bioskop Indonesia. Untuk lebih detilnya, sebaiknya baca buku ini dulu sebelum menonton filmnya nanti.

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Sigit Purnomo Freedom. Diberdayakan oleh Blogger.