Rabu, 08 Februari 2012

Sepengal Sejarah DI kota Surabaya

Filled under:

Batik......

Kerajinan batik ini di Surabaya meluas setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920.
Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Namun seiring perkembangan sebagai kota industri, perajin batik di Surabaya kini sangat minim. Di Rungkut ada perajin yang melestarikan penggunaan bahan alami dengan menciptakan batik mangrove. Meski demikian, untuk galeri/toko  batik menjamur seiring diwajibkannya pengunaan batik di sekolah dan kantor pemerintah/swasta.

Gedung Kehakiman.....

Foto  ini memperlihatkan Gedung Kehakiman di Pasar Besar (kini Jl Pahlawan) di Surabaya. Letaknya di depan Kantor Gubernur Jawa Timur.
Pada zaman kolonial di Indonesia ada enam Gedung Kehakiman, yaitu di Batavia, Semarang, Surabaya, Padang, Medan dan Makasar. Gedung ini menampung pengadilan untuk orang yang melakukan kejahatan yang cukup berat (pembunuhan, rampok). Dahulu, peradilan kasus rendah (pencurian, penipuan) dilakukan oleh ‘Landraad’ atau ‘Landgerecht’ (badan pengadilan biasa untuk orang kulit putih) atau ‘Districtsgerecht’ (badan pengadilan untuk orang pribumi, dengan wedana sebagai hakim). Baru pada tahun 1918 hukum pidana untuk semua etnik dipersatukan.
Gedung Kehakiman , dalam bahasa Belanda disebut ‘Raad van Justitie’ atau ‘Paleis van Justitie’ dibangun pada tahun 1891 dalam gaya arsitektur klasik. Pada tahun 1942-1945 gedung ini digunakan sebagai kantor Kempeitai (anggota polisi militer Jepang di jaman penjajahan Jepang). Gedung dihancurkan pada tahun 1945 dalam Pertempuran Surabaya antara tentara Inggris dan pejuang Republik Indonesia.

Kepoetran Soerabaja.......

Keputran adalah sebuah kampung bersejarah di Surabaya yang dulunya merupakan satu diantara bagian sentra kota. Pada zaman dulu—sekitar tahun 1906--Keputran merupakan kampung tempat tinggal para petinggi Kraton Surabaya.
Kampung Keputran cukup luas. Saat ini tetenger yang masih berdiri dari gamabarn foto ini adalah dua rumah yang beratap tinggi di sebelah kiri jalanFoto diambil dari di Jl Keputran bagian utara di pertigaan Keputran - Pasar Keputran (ke kanan). Foto mengarah ke selatanDi sebelah kiri terlihat jalur kereta trem yang dulu menghubungkan Wonokromo (lurus) dengan kota (balik). Pada tahun 1930an jalur kereta trem dipindahkan ke jalan yang kini bernama Jl Urip Simoharjo.

IJsfabriek Gemblongan........

Di ujung selatan Jalan Gemblongan dahulu ada jembatan yang mengarah ke Tunjungan. Jembatan ini menyeberangi Kali Krembangan yang memecah dari Sungai Kalimas di sebelah utara Genteng Kali, melewati Blauran kemudian belok ke Bubutan terus ke Kemayoran dan Krembangan.
Gedung sebelah kiri adalah pabrik es bernama IJsfabriek Gemblongan. Pabrik ini didirikan pada tahun 1877 oleh seorang usahawan dari Lawang yang berketurunan Belanda, namanya Lucas Herman Olie (1847-1933) dan kemudian dikelola bersama mitra usahanya. Pabrik es ini bukanlah pabrik es pertama di Surabaya, pada zamannya sudah ada beberapa pabrik es yang sangat menguntungkan di kota panas ini.
Es dibuat dengan menggunakan mesin pendigin, yaitu sebuah kompresor yang berisi amoniak dan digerakkan oleh mesin uap. Amoniak mempunyai titik didih yang sangat rendah sekali yaitu minus 33°C. Selain berproduksi batang es untuk dijual secara besar, disini juga ada toko minuman es yang populer untuk anak-anak pada zaman itu. Dengan uang sedikit mereka bisa beli lemonade hingga air belanda. Sekarang kali dan jembatan sudah hilang, dan empat jalan tersebut merupakan perempatan besar.

Simpangsche Bazar.........

Inilah ujung timur dari Jalan Embong Malang. Jalan ini menghubungkan Jl Tunjungan di ujung timur dengan Jl Blauran dan Jl Kedungdoro di ujung barat. Di bagian selatan di lokasi yang kini ditempati Hotel Sheraton sudah berdiri beberapa hotel, antara lain Hotel Sarkies, Hotel Embong Malang, dan Hotel Métropole. Selain hotel, di sepanjang jalan ini juga terdapat beberapa rumah mewah dengan halaman yang luas.
Gedung sebelah kanan adalah toko serba ada Simpangsche Bazar. Pada dinding depan ada tulisan 1886 dan 1904, yang merupakan tahun pembangunan dan tahun renovasi. Di tahun 1928 toko Simpangsche Bazar diganti Toko Nam. Setelah Toko Nam dipindahkan ke lokasi baru di seberang jalan, gedungnya dihancurkan dan dibangun gedung baru pada tahun 1938 yaitu Toko Kwang yang kini dijadikan Monumen Pers Perjuangan Surabaya.
Gedung di sebelah kiri adalah Hotel Sarkies yang didirikan pada tahun 1908 oleh John Martin Sarkies (1872-1940), yang mempunyai hubungan keluarga dengan Lucas Martin Sarkies (1852-1912), pendiri Hotel Oranje di Jl. Tunjungan.
Baru mulai sekitar 1910-an hotel-hotel modern berkelas eksekutif mulai beroperasi, contohnya Oranje Hotel. Hotel Sarkies pun didegradasikan menjadi hotel kelas menengah. Hotel Sarkies dibongkar pada akhir abad ke-20 untuk perluasan Tunjungan Plaza dan Hotel Sheraton.

Cikar Glodak......

Zaman dahulu kala, ketika kendaraan bermotor masih ‘langka’ di Surabaya, cikar glodak menjadi pilihan utama transportasi, terutama untuk angkutan barang. Gerobak ditarik sepasang sapi perkasa. Kata Jawa cikar berarti gerobak. Roda cikar besar sekali, diameter setinggi manusia. Bantalan roda diperkuatkan dengan selapis besi yang jika berjalan membangkitkan suara khas: glodak... glodak... glodak... begitulah asal namanya. Kendaraan model itu pada umumnya digunakan untuk mengangkut muatan berat contohnya batu-bata, bambu, jagung, dan tebu. Sapi penarik diberi kalung genta dari tembaga yang berlentung jikalau sapi berjalan: dung-dong... dung-dong... dung-dong... Bayangkan bising yang beredar disini!
Kini bukan bising ‘glodak-glodak’ yang membuat pusing warga. Tapi padatnya arus lalu lintas tak sekadar membuat polusi suara tapi juga polusi udara. Jalan keluar berupa penyediaan angkutan massal yang nyaman pun hingga kini baru sebatas wacana.
Foto pada kartupos di atas adalah lokasi di sebelah kantor karesidenan Surabaya, di sebelah barat Sungai Kalimas dekat Jembatan Merah. Di belakang kepohonan terlihat gudang kepabean entrepot yang menghadapi Willemsplein (kini Taman Jayengrono). Sekarang disini ada kompleks pertokoan Jembatan Merah Plaza (JMP).

Bermain di Kali Mas.....

Anak -anak tampak bermain di Kali Mas di wilayah Bibis, Surabaya. Sejak zaman colonial, pusat kegiatan Surabaya berada di utara, yaitu sekitar kawasan Jembatan Merah, termasuk wilayah Bibis.
Keberadaan Kali Mas yang merupakan anak sungai dari Kali Brantas juga menjadi pintu bagi lalu lintas sungai di masa lalu, di mana sejarah mencatat bahwa sungai ini dapat dilayari dari hilir (Surabaya) hingga ke hulu (Kediri, Mojokerto). Di foto tampak perahu tradisional yang digunakan warga untuk alat transportasi .
Berdasarkan tulisan von Faber (dalam Handinoto, 1996) peran sungai yang melewati Kota Surabaya (dalam hal ini Kalimas) mempunyai peran penting dalam penciptaan Kota Surabaya, mulai jalan hingga permukiman.
Akibat pola jalan yang memanjang mengikuti aliran sungai dari Selatan menuju ke Utara serta penduduk yang terkonsentrasi di kedua tepian sungai, maka konsekuensinya adalah banyak ditemukan jembatan, yang menghubungkan penduduk di kedua tepian sungai, misalnya jembatan Patok, Peneleh, Bibis, kalianyar, Jagalan, Genteng (van Deventerlaan) dan Cantikan.

Kampung Nelayan.......

Kartupos di atas memperlihatkan perkampungan nelayan di daerah pantai, diperkirakan di daerah Semampir. Di depan tampak beberapa perahu layar model jukung yang baru kembali dari laut.
Pada umumnya perikanan dilakukan pada musim tertentu oleh petani yang juga memiliki sawah. Seringkali nelayan berangkat di malam hari, melemparkan jala di pagi hari, dan pulang siang atau sore hari. Selain jala, nelayan laut juga menggunakan bubu (perangkap ikan yang dibuat dari saga atau anyaman bambu, dimana ikan dapat masuk, tetapi tidak dapat keluar lagi), dan sero (semacam pagar di laut untuk menahan dan menggiring ikan supaya masuk kurung). Ikan yang tidak dikonsumsi akan dijual atau diawetkan pakai garam. Jenis ikan laut yang banyak ditangkap adalah ikan layang, ikan tembang dan ikan bandeng.
Profesi nelayan tidak gampang. Kadang-kadang perahu tidak bisa berangkat karena laut kurang tenang atau arah angin salah. Kalau perahu pulang terlambat pasti disebabkan oleh arah angin yang salah dan ikan yang sudah ditangkap pasti bisa busuk. Masalah ini dapat dipecahkan setelah perahu menggunakan motor tempel.


0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Sigit Purnomo Freedom. Diberdayakan oleh Blogger.